Selasa, 07 Mei 2013

Ayo Teman-teman dan Sahabat yang mau dapat uang
tinggal klik aja link dibawah..

semoga berhasil..

link : http://www.penasaran.net/?ref=m7djt6

www.bebasklik.com/?id=hrc243

Ini baru bisnis online yang kita cari-cari selama ini www.bebasklik.com/?id=hrc243 gak perlu bayar biaya pendaftaran, gak perlu nunggu proses aktifasi berjam-jam, sekali klik langsung aktif dan bisa langsung ngumpulin profit

Senin, 07 Januari 2013

Masyarakat Diimbau Menikah di KUA, Kenapa?

Masyarakat Diimbau Menikah di KUA, Kenapa?
Kantor Urusan Agama

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kementerian Agama mengimbau kepada masyarakat untuk menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) dan juga pada jam kerja bila ingin melangsungkan pernikahan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pungutan tidak legal yang terus menerus terjadi sejak bertahun-tahun lamanya.

Sekretaris Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Muhammadiyah Amin menjelaskan kejadian ini bermula sejak 80 persen  masyarakat di Indonesia mengundang penghulu ke rumahnya untuk menikahkan, memberi khutbah dan membacakan doa. Rata-rata penghulu merupakan tokoh agama/masyarakat, dan sebagian besar dari mereka juga menjadi pengurus KUA.

''Sehingga mereka memiliki fungsi ganda,'' ujarnya pada /Republika/, Jumat (28/12).

Tugas pengurus KUA sesungguhnya hanya ada tiga, yaitu mencatat, mengawasi dan administrasi pernikahan. Setelah melakukan tugas mereka, menurut PP Nomor 47 Tahun 2004, masyarakat diharuskan membayar Rp 30 ribu sebagai biaya pencatatan nikah, yang selanjutnya akan masuk ke kas negara. Namun, karena mereka memiliki fungsi ganda, masyarakat lalu memberi penghargaan lebih dari aturan.

Realitanya, tidak ada petugas KUA yang datang hanya mencatat pernikahan. Petugas KUA yang melebihkan fungsinya dihargai lebih oleh masyarakat. Masyarakat yang membayar lebih dari aturan, dinilai KPK sebagai gratifikasi atau suap, meskipun itu bersifat sukarela. Masyarakat lah yang meminta, meskipun mereka telah diberitahu untuk menikah di kantor KUA sesuai jam kerja dan membayar sesuai ketentuan.

Namun tetap saja, menurut Amin, ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Mayarakat harus diberitahukan dan persoalan ini harus diperbaiki. Walaupun begitu, tak ada yang bisa melarang pengurus KUA untuk menikahkan, dan untuk memulai langkah perbaikan, dibutuhkan dana yang tidak sedikit.
''Setidaknya kita butuh trilyunan rupiah,'' ujarnya.

Di Indonesia, ada 5.382 KUA. Diantara jumlah itu, terdapat 177 yang tidak memiliki tanah, 521 yang tidak memiliki gedung, 367 yang menyewa, 160 yang gedungnya rusak berat dan 335 yang rusak ringan. Untuk memperbaiki fasilitas ini pun dibutuhkan biaya yang sangat besar, sedangkan Ditjen Bimas Islam hanya memiliki anggaran 400 miliar tiap tahunnya.

Banyak yang masih menganggap menikah di KUA itu menjadi momok tersendiri di masyarakat. Bahwa menikah di rumah itu lebih baik. Padahal, tidak seperti itu. Persoalan  untuk menghapus pemikiran dan kebiasaan masyarakat memberi bayaran lebih ke petugas KUA, bukanlah perkara mudah.

Amin sementara akan membicarakan beberapa solusi program bersama Itjen Kementerian Agama untuk memecahkan masalah ini secepat mungkin. Salah satu asumsi yaitu dengan membayar legal petugas KUA yang berfungsi ganda itu Rp 500 ribu. Namun, jika ini dilaksanakan juga terkendala dengan minimnya dana.
''Jadi sebenarnya intinya ini pada ketersediaan dana,'' ujarnya.

Hukum Hadiah dan Gratifikasi

Pada dasarnya pemberian hadiah merupakan suatu hal yang diperbolehkan dalam Islam. Bahkan Islam mengatakan bahwa dengan saling memberikan hadiah akan tercipta rasa kasih sayang di antara mereka. Tentunya pemberian hadiah yang dapat memupuk rasa kasih sayang itu merupakan pemberian hadiah yang muncul dari hati nurani yang tulus dan ikhlas, hanya semata-mata mengharapkan ridho dari Allah swt.

Namun dalam perkembangannya dan realitas yang terjadi, hadiah terkadang menjadi alat untuk tujuan-tujuan tertentu, sebagai media pendekatan untuk mendapatkan keuntungan dan keselamatan. Di antara bentuk hadiah yang dimaksudkan adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai abdi negara. 



Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan semacam ini diistilahkan dengan Gratifikasi, yaitu uang hadiah yang diberikan kepada pegawai abdi negara di luar gaji yang yang telah ditentukan. Lebih lanjut, dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) gratifikasi diartikan sebagai bentuk pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Dalam hukum negara, sangat jelas bahwa tindakan gratifikasi ini merupakan sebuah tindak pidana korupsi yang akan dikenakan hukuman negara. 
Islam dengan ajarannya yang syamil sejak dini telah melarang bahkan mengharamkan tindakan seperti itu dan bagi pelakunya tidak hanya dikenakan hukum dunia bahkan jika tidak bertobat diancam dengan hukuman yang sangat pedih di akhirat. Dalam hadist Abu Humaid as-Sa’idi diceritakan :

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali. “ 

Berkata Ibnu Abdul Barr : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang ) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
 



وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ 

Imam al-Baghawi
dalam kitab Syarhu as-Sunnah, menjelaskan bahwa hadist Abu Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada pegawai (zakat ) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia cenderungan kepadanya ketika dalam persidangan.
Yang termasuk dalam larangan hadist di atas :
 
Pelajaran yang terkandung dalam hadits tersebut tidak hanya berlaku bagi seorang pengumpul zakat yang notabenenya diangkat sebagai abdi negara dalam bidang mengumpulkan zakat, hadits ini juga berlaku bagi tindakan-tindakan gratifikasi lainnya baik yang berada dalam lingkuangan pemerintahan sendiri maupun yang terdapat di dalam elemen-elemen masyarakat. 

Seperti seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telepon yang terputus atau mengalami gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan atas pekerjaan yang dia lakukan dari para pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi maka upah tersebut adalah uang yang diharamkan baginya. 

Contoh lain, seperti seorang pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Makkah dan Madinah. Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dengan tujuan akan mendapatkan uang discount dari penyewaan tersebut yang akan masuk ke kantong pribadinya. Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada pengurus secara transparan. Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan mempengaruhi di dalam keputusan hukum. Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para pembayar pajak, karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di dalam menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya. Dan masih banyak lagi contoh lainnya dalam masyarakat.
Tindakan gratifikasi di atas tentunya tidak diharamkan kecuali dibalik itu ada dampak negatif yang akan ditimbulkan, banyak kerugian yang akan dirasakan khususnya bagi masyarakat kecil. Jika kita teliti lebih dalam, tindakan gratifikasi dapat merusak kinerja para pegawai abdi negara, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan orang-orang yang memberikan uang lebih kepadanya dan membiarkan orang yang tidak memberikan uang dalam kondisi kesulitan. Dampak lebih jauh dari itu, akan terjadi banyak sekali kekacauan, baik dalam bidang politik, hukum, perekonomian dan lain-lain. Politik akan berjalan dengan cara yang culas, siapa yang bayar lebih tinggi akan menduduki tampuk pimpinan. Hukum akan menjelma menjadi hukum rimba, yang kuat bayar lebih banyak akan muncul sebagai pemenang hukum. Perekonomian akhirnya akan menjadi carut-marut, barang yang tidak berkualitas dijual dengan harga normal. Tabung gas 4 liter tersebar di masyarakat hanya berisi 1 atau 2 liter. Minyak bersubsidi dijadikan ajang untuk mencari keuntungan. Hal ini terjadi karena pengawas lapangan atau pihak-pihak yang terkait dengan masalah distribusi tidak mengambil tindakan tegas. Tidak adanya tindakan tegas tersebut diakibatkan karena mereka menerima keuntungan atau gratifikasi dari pihak-pihak perusahaan yang mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak halal.

Mungkin cerita tentang sahabat rasulallah di bawah ini akan lebih memberikan kesadaran kepada kita akan bahaya dan ancaman yang akan kita dapatkan jika kita melakukan gratifikasi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak.

Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“

Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: "Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan kepadamu.” 

Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga tersebut.

Jumat, 04 Januari 2013

Gebrakan Baru Irjen Kemenag MoU dengan PPATK

Jakarta [ItjenNews] - Beberapa hari terakhir ini, kesibukan Inspektur Jenderal Kementerian Agama Mochammad Jasin kian padat saja. Dering teleponnya kerap berbunyi hanya berselang beberapa saat. Pria kelahiran Blitar, 14 Juni 1958 ini berjibaku melayani permintaan wartawan untuk mewawancarai. Entah wawancara tatap muka langsung, maupun jarak jauh, satu demi satu ia layani. Saking padatnya permintaan wawancara, beberapa media harus “antre” untuk mendapatkan komentar-komentar lugas dari mantan Wakil Ketua KPK ini.
Belakangan, Jasin harus disibukkan dengan pemberitaan rekening gendut milik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama. Seiring terobosannya melakukan penandatanganan nota kesepahaman kerjasama (MoU) dengan PPATK, secara intens Jasin memberikan penjelasan kepada media seputar langkah pencegahan dan pemantauan arus lalu lintas transaksi keuangan pegawai dan kasus-kasus rekening jumbo milik pegawai Kemenag. Tanpa kenal lelah, sembari melaksanakan segudang tugasnya sebagai Irjen, Jasin menjawab satu persatu pertanyaan dari berbagai awak media. Kamis (27/12/2012), pria bersahaja yang gemar menggunakan baju batik ini menerima kru wartawan televisi swasta nasional di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancara wartawan dengan Irjen Kemenag, Mochammad Jasin:
Bagaimana penjelasan soal kasus pegawai Kementerian Agama yang terindikasi memiliki rekening gendut itu?
Identifikasi itu berdasarkan pemantauan dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, red). Kami diundang bersama tim untuk melakukan presentasi paparan dari PPATK. Disinyalir ada di Kementerian Agama yang melakukan transaksi di luar batas kewajaran sebagai Pengawai Negeri Sipil, karena sudah menyangkut angka milyaran rupiah, dan frekuensinya juga sering. Ini tidak hanya di (Kemenag) Pusat tapi juga di (Kemenag) daerah. Nah, indikasi penggunaan dana yang ditarik itu bisa jadi dana itu berasal dari sumber dana di luar Kementerian Agama. Sumbernya dari mana pun juga kalau sudah masuk suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah itu sudah masuk ranah keuangan negara. Nah, pemantauan PPATK itu menguntungkan kami sebagai pengawas internal untuk melakukan penertiban. Penertiban itu dengan maksud jika sudah ada indikasi penyalahgunaan wewenang atas kewenangan diemban oleh suatu oknum dari Kemenag, kita harus meluruskan kalau ada pelanggaran oleh oknum kita. Sesuai dengan PP Nomor 10/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. Kalau sudah mengarah ke indikasi pidana, sebagaimana amanat dari Diktum VIII Inpres tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, maka pengawas internal meneruskan ke penegak hukum, ke Kejaksaan, Kepolisian atau KPK. Itu perintah dari Inpres tersebut. Semuanya sudah koordinasi secara baik. Semua dilaporkan ke Menteri Agama. Dan Pak Menteri juga sudah menyetujui. MoU yang kita buat pun kita komunikasikan dengan baik dengan jajaran Eselon I.
Berapa kira-kira jumlah pegawai Kemenag yang punya rekening gendut?
Ini kan tahap awal dari lokus pengelolaan dari dana yang dikelola oleh Kementerian Agama. Itu kira-kira masih belasan. Tapi kan ini tahap awal. Dan ada indikasi kalau itu skopny adalah skop nasional kan bisa lebih dari itu. nah, yang baru kita identifikasi di daerah baru satu daerah. Sementara di Kementerian Agama itu ada 4.474 Satuan Kerja di seluruh Indonesia. Saya anggap ini sangat menguntungkan bagi Kementerian Agama, khusunya Inspektorat Jenderal Kementerian Agama untuk melakukan pemantauan menuju pada azas transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan.
Apakah rekening gendut pegawai Kementerian Agama itu hasil dari korupsi?
Tentunya kalau kita melihat skala remunerasi atau sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil kan tidak mungkin bisa mengumpulkan dana sekian milyar itu, kecuali dapat lotre atau warisan. Ini yang menjadi program kita untuk segera menertibkan. Apabila itu hasil dari tindak pidana korupsi, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), ini kan ada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang itu. Nah, bisa jadi itu juga harus disita dan dikembalikan ke Kas Negara, apalagi jika ada indikasi pidananya. Artinya, ditetapkan tersangka dulu, baru diproses hukum, termasuk penerapan Undang-Undang tentang TPPU.
Apa tindakan lain yang diterapkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama terkait akuntabilitas dan transparansi di Kemenag?
Tentunya kita mendepankan pencegahan. Pencegahan itu yakni memberikan bimbingan ke arah pencegahan korupsi, pelaporan harta kekayaan harus kita targetkan. Semua yang tidak lapor harus melapor harta kekayaannya. Menyusun SK Menteri tentang pejabat strategis di lingkungan Kementerian Agama. Itu yang wajib lapor. Nah, kebetulan, tanggal 11 Desember kemarin kita sudah menandatangani Zona Integritas, yaitu untuk menuju Wilayah Bebas dari Korupsi. Berarti asumsinya, semua pegawai di Kemenag ini harus melaporkan kekayaan untuk mencapai predikat Wilayah Bebas dari Korupsi. Ini sebagai parameter kita untuk mencegah orang itu berambisi mengumpulkan kekayaannya. Harapan kita seperti itu. Sehingga tertib administrasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik menjadi perlu agar Indonesia ini bebas dari kasus-kasus dan masalah korupsi yang merugikan dan menghambat negara ini sulit untuk maju ini.
Jika terbukti melakukan korupsi, apakah ada sanksi?
Kalau sudah ada arah transaksi yang indikasinya melanggar aturan, memperkaya diri sendiri, dan merugikan keuangan negara, itu tentunya ada delik pidana yang bisa diarahkan kepada yang bersangkutan. Itu tugasnya penegak hukum. Kalau kita hanya mengindentifikasi saja. Apabila ada penegak hukum yang minta informasi kepada Itjen, maka kita harus memberikan informasi itu secepatnya. Itu perintah Diktum VIII Inpres Nomor 5 Tahun 2004. Jadi kita tidak menyalahi aturan. Semuanya dalam kerangka melaksanakan aturan yang kita laksanakan sendiri. Tujuannya adalah untuk mewujudkan good governance. Pak Menteri juga setuju dengan langkah saya ini untuk mewujudkan Kemenag menjadi bersih.
Apakah tidak akan ada pemecatan terhadap pegawai yang punya rekening mencurigakan?
Tidak menutup kemungkinan akan seperti itu. Bahkan, upaya membebaskan dari jabatannya itu sudah bergulir waktu saya baru masuk Itjen, bahkan sebelum saya masuk pun itu (membebastugaskan) mulai bergulir. Saya masuk, lebih banyak laporan adanya oknum yang sudah firm atau terindikasi melakukan suatu pelanggaran yang kita proses, sambil secara bersamaan diproses hokum oleh lembaga penegak hukum, baik oleh Kejaksaan maupun oleh KPK. Yang saya tahu seperti itu.
Apa posisi pegawai yang punya rekening gendut?
Kita masih menerima singkatan nama, perlu pendalaman. Jadi laporannya masih singkatan nama saja. Jadi, kita belum bisa menyebutkan posisinya, PPATK juga masih menyebut pegawai Kemenag, belum menyebutkan nama. Saya yakin PPATK juga akan melaporkan ke penegak hukum. PPATK itu seperti itu tugas dan fungsinya. [ ]
Reporter  : Moh. Anshari
Redaktur : Nurul Badruttamam

Irjen Kemenag: Biaya Nikah Mahal Bisa Picu Kawin Siri


Jakarta - Pungutan liar atau pungli dalam pengurusan nikah resmi dicurigai menjadi penyebab maraknya pernikahan siri. Padahal, bila semua sesuai aturan, Kementerian Agama menegaskan bahwa biaya resmi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) hanya sebesar Rp 30 ribu.

"Itu (pungli) yang membuat banyak nikah di bawah tangan," ujar Irjen Kemenag M Jasin dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (27/12/2012).

M Jasin mengatakan biaya pencatatan pernikahan di KUA diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama. Biaya di luar biaya resmi yang sudah diatur tersebut dipastikan adalah pungli.

"Nikah itu biayanya jangan mahal-mahal, kalau bisa yang Rp 30 ribu itu justru ditiadakan atau digraiskan. Kalau biaya nikah mahal dikhawatirkan memicu maraknya kawin siri," imbuh Jasin. Pernyataan Jasin ini meluruskan statemen sebelumnya yang menyebut kalau penghulu meminta uang Rp 1-2 juta mending menikah di bawah tangan. Berita ini sekaligus mengklarifikasi berita yang ditulis sebelumnya.

Menurut Jasin permintaan penghulu untuk biaya 'lain-lain' itu bukan tanpa alasan. Salah satu faktor yang membuat penghulu meminta biaya adalah untuk ongkos transportasi dimana lokasi menikahkannya jauh dari KUA.

"Peristiwa nikah itu 80 persen itu dilakukan di hari libur. Di kampung saja ada yang minta Rp 500 ribu," imbuhnya.

Meski begitu, Jasin mengakui bahwa tidak selalu biaya nikah yang mahal itu dapat dikaitkan dengan pernikahan siri. Jasin menilai pernikahan siri itu saat ini justru banyak dilakukan oleh orang-orang kaya bukan orang miskin.

"Salah satunya kasus Bupati Garut Aceng itu. Dia kan nikah siri bukan karena tidak punya uang," candanya.

Sebelumnya Jasin mengungkapkan pungli di Kemenag, terutama di KUA bisa mencapai Rp 1,2 triliun. Jasin mengatakan pungutan liar kebanyakan terjadi ketika penghulu meminta 'ongkos' menikahkan dari pasangan yang telah mendaftar ke KUA. Tak tanggung-tanggung, mereka minta Rp 500 ribu untuk tiap pernikahan. Padahal, ongkos sebenarnya hanya Rp 30 ribu.

"Setahun itu 2,5 juta peristiwa nikah, itu belum termasuk yang cerai, jumlahnya sama. Misalnya rata-rata 2,5 juta dikalikan Rp 500 ribu, itu bisa sampai Rp 1,2 triliun," papar Jasin di Kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jalan Juanda No 37, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2012).

Rabu, 26 Desember 2012

Di Tasikmalaya Ada 112 Pernikahan pada 12-12-12

Padahal, pada Desember ini bertepatan dengan bulan Syafar dalam penanggalan Hijriyah yang biasanya dianggap sebagai bulan kurang baik untuk menikah.
Sumber dari : http://video.liputan6.com/main/read/54/1113194/0/di-tasikmalaya-ada-112-pernikahan-pada-12-12-12